music

Tuesday 5 February 2019

Rindu Menulis

Aku pernah berasumsi bahwa waktu yang paling pas untuk menulis itu ketika sedang sedih. Karena segala inspirasi mengalir dengan derasnya. Pasti diantara kalian ada juga kan yang ngerasain kayak gitu?

Tapi bagiku kini salah,
justru ketika aku diterpa kesedihan yang paling dalam, sedikitpun aku tak dapat berkata-kata.

6 Bulan lamanya,
Tidak berkutat pada tulisan yang menceritakan asa dan rasa. Lebih memilih bercerita dan berkeluh kesah dengan manusia terdekat. Karena dirasa hanya mulut dan air mata yang mampu bekerja.

Aku rindu pada dunia imaji yang dapat merebahkan rasa. Meski dirasa mati; tak berbalas pun tak ada jawaban atas segala pertanyaan, tapi aku cinta dan sangat menikmati waktu yang mengalir ketika aku menulis.

Semasa kemarin aku ingin sekali menjenguk tulisan-tulisanku  dan mulai merangkai tulisan baru. Banyak sekali yang ingin kuceritakan tentang diriku yang kemarin (nestapa, sengsara, miris dan tragis). Sayangnya sudah sangat terlambat tuk ku abadikan. Alasannya karena terlalu bergelut dengan realita. 3 Bulan pertama adalah masa-masa aku mengalami kesedihan ter-dalam semasa hidup yang bersangkutan dengan keluarga dan 3 Bulan terakhir aku disibukkan dengan suatu amanah. Masih bergelut dengan dunia tulis menulis sih, tapi menjalankan amanah tersebut bukanlah sesuatu yang aku suka. Menjadi dia membuatku pusing mabuk kepayang karena semuanya berbau formal dan sudah mempunyai ketentuan (terbatas), pun aku feeling up buat ngatur jam kuliah dan organisasi. Bahayanya aku lebih memprioritaskan organisasi ketimbang kuliah, sehingga tugas kuliahku berantakan. hihi. Jangan pula tanyakan perihal traveling, itu hanya hayalan belaka. Nggak nggak, Aku nggak menyalahkan amanah itu. Aku menyalahkan aku. Tapi setidaknya aku dapat merasakan menjadi seseorang yang cukup disiplin dan tau sedikit tentang dunia surat-menyurat serta pembuatan proposal. Hehe Terima Kasih MAPALA MARAS

Padahal sebelum sibuk dengan segala hal yang menyibukkan dan sengaja disibuk-sibukkan, aku selalu memilih menulis untuk mengisi kegabutan. Tapi sekarang ketika ada waktu luang, aku lebih memilih berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Diam-diam menitikkan air mata. Selalu begitu, 6 Bulan lamanya.

Kalo dulunya kegiatan aku selama masa perkuliahan hanya belajar di kelas dan ngebolang (kesana kemari dan tertawa~) selepas itu bisa ngeblogging daily activities, kini aku harus memutar otak untuk membagi waktu antara kewajiban dan hak. Kewajibannya menata masa depan, haknya itu makan dan ngobrol sembarangan sama... siapa ajalah yang mau ngobrol sama aku. Agak rumit sih, tapi itu semua sangat baik untuk kesehatan jiwa. Karena hampir nggak ada celah buat mikirin hal negatif tentang ini itu. Terima kasih Tuhan, Engkau Maha Baik.

Yoe, berhubung menjalankan amanah sudah (hampir) selesai, dan kebetulan aku sedang merebahkan pikiran di rumah, mungkin ini saat yang tepat buat aku kembali curcol disini. Semoga aja nggak ada lagi mood swing dan rasa no time buat nulis. Intinya, Selamat lahir kembali diri! Harap-harap selalu tertarik dalam merawat dan membesarkan blog ini. Salam Literasi!

Tuesday 31 July 2018

Gili Trawangan


“gue mau ke Mantar, pokoknya gue mau ke Mantar! Semua orang udah pernah ke Mantar tinggal gue sendiri yang belom, huh!”

Pernah denger nggak Negeri Di Atas Awan yang ada di film "Serdadu Kumbang"? Nggak tau kenapa gue penasaran banget buat kesana, kayak nggak percaya dan nggak bisa bayangin waktu nonton film itu. Maklum aja gue bukan orang yang imaginatif hahaha *padahal suka ngayal*

Setelah beberapa hari di Sumbawa, gue lagi sibuk-sibuknya berselancar di dunia maya buat nyari tau tentang semua destinasi yang ada di Sumbawa. Sering kali gue mendengar kata “Mantar” tapi gue selalu nggak peduliin dan nggak tertarik buat nyari tau. Tapi setelah ada temen yang pergi kesana dan sedikit bercerita tentang Mantar, seketika gue keingetan film Serdadu Kumbang itu! Dengan gercepnya gue searching Mantar dan yah, I’m Speechless.

KHAYALAN GUE UDAH DI DEPAN MATA.

4 tahun kedepan gue akan tinggal di Sumbawa yang mana di Sumbawa inilah Puncak Mantar berpijak. Ahhh senangnyah!

After Mid-Test Semester 2, gue dan ke-3 temen gue Fina, Manda dan Marbat berencana buat ngisi liburan bareng. Ada yang bilang “kangen ngompreng!” gue tanpa ragu langsung meng-iya-kan pernyataan dia dengan “Yok, kita ke Mantar!”. Sampai di hari H keberangkatan, sahabat per-nekad-an a.k.a akbar adietya yang teramat sombong ini baru pulang berorganisasi. Dengan mudahnya akbar menerima ajakan kita buat ngompreng (langsung cus nggak basa-basi, nggak ganti baju dan nggak siap-siap).

Perjalanan kita lancar sampai di Pelabuhan Poto Tano. Mobil tumpangan yang mengantar nasib untuk tidak sampai ke Mantar. Sangat sangat sedih. Mungkin lain waktu, harapku.

Alhamdulillah, kita dapet tumpangan sampai ke Kota Mataram (awalnya). Tapi karena kecerobohan kita (yang hampir gapernah absen disetiap perjalanan), kita ditinggalin orang yang mau ngangkut kita sampai tujuan. Lucu ceritanya, Marbat dan Manda yang lagi iseng-iseng buka tas kaget ngeliat tasnya penuh sama shampoo yang tumpah. Pinternya, mereka langsung mengaplikasikan busa-busa tersebut ke kepala mereka, Mereka keramasan di atas kapal. Sungguh.

Pahitnya, kita ditinggalin mobil tumpangan yang sangat menjanjikan itu! Tapi manisnya, kita dicariin tumpangan sama Pak Polisi. Yaa walaupun nggak seberuntung mobil sebelumnya yang mau nganterin sampe Mataram, tapi seenggaknya kita nggak perlu jalan berkilo-kilo dari pelabuhan ke jalan raya buat nyari mobil tumpangan.

Lombok Timur namanya, panas luar biasa dan debunya itu bisa ngerasain sensasi kayak di Jakarta. Watak masyarakatnya pun mulai beragam. Nggak kayak di Sumbawa, hampir semua mobil membolehkan untuk ditumpangi. Di Lombok, agak susah buat berhentiin mobil. Entah masyarakatnya yang sudah mengenal uang (dilihat dari banyaknya pertokoan dan banyaknya pedagang asongan) atau mungkin masyarakatnya yang menghargai angkutan umum. I think the second perception is more make a sense. Tapi itu semua nggak mudarin semangat kita buat tetep ngompreng-mengompreng hehehe

Sampai sudah di Kota Mataram!
Saatnya menjadi dora, “katakan peta! Katakan peta!” kita mulai menelurusi gang demi gang, blok demi blok, jalan demi jalan untuk menemukan “Rumah Singgah Lombok”. Daaan terimakasih Google Maps, kau mempersingkat perjalananku.

Rumah Sederhana penuh kehangatan. Walaupun gue baru pertama kali dateng ke Rumah Singgah, tapi gue bisa merasakan kehangatan disini. Ada cinta, ada keikhlasan dan ada kasih sayang. Kita berlima disambut oleh bapak tua yang sepertinya baru pulang bekerja. Beliau langsung mengarahkan kita ke Sang Ibu, yang mana sangat amat ramah. Tidak ada pandangan curiga atau apapun yang membuat kita canggung. Segalanya dijamu dengan penuh keramahan dan kehangatan.

Gue dan Fina ditempatkan dikamar yang dipisahkan dari gangguan asap rokok dan makhluk bernamakan laki-laki. Sangat aman. Benar-benar seperti rumah sendiri. Meski penghuninya datang dari berbagai penjuru daerah, tapi disini kita bertatapan seperti layaknya keluarga. Menariknya, dinding-dinding di rumah ini dipenuhi oleh bingkai foto yang mana merupakan foto kenang-kenangan dari orang-orang yang pernah singgah di rumah ini. Sangat banyak. Sampai-sampai bisa dijadikan sebagai spot foto yang unik. Macam di galeri-galeri gitu.

Setelah sedikit berbincang dengan Bapak dan Bang Gan, kita memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke daerah Lombok Barat. Sebuah pulau cantik, yang saking cantiknya dijadikan sebagai judul lagu oleh penyair. Gili Trawangan.

Sekitar pukul 8 pagi kita berangkat dari Rumah Singgah Lombok, berpamitan dengan Mamak, Bapak dan adik ganteng Al-Fatih. Mataram yang tetiba menyamakan Sumbawa derajat suhunya, membuat kaki kita ingin cepat-cepat sampai pada tujuan. Mobil demi mobil kita tumpangi, lagu demi lagu kita nyanyikan, senda gurau kita lakoni, setiap sudut tempat memberikan banyak pelajaran berharga. Perjalanan ini akan menjadi cerita yang sangat menarik untuk ku ceritakan pada kerabat-anak-dan cucuku kelak. Hehehe

Pelabuhan Bangsal namanya. Tempat kapal berlayar dan berlabuh dari ujung barat lombok ke pulau-pulau kecil indah bernama Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Destinasi awal yang kita pilih adalah Gili Meno, tapi sayang kapal terakhirnya sudah berlabuh sejak satu jam yang lalu. Sekitar 45 menit dengan biaya Rp. 17.000,00-/orang (bukan PP) untuk sampai ke Gili Trawangan. Murahkan?

Hiruk pikuk Gili Trawangan membuatku menajamkan mata, agak heran, pulaunya berada di Indonesia tapi mayoritas adalah turis mancanegara. Hanya sekitar 15% orang lokal yang berada disini. Padat, ramai, riuh, hatiku sedikit kecewa. Tak seperti pantai-pantai di Sumbawa yang sepi, tenang, merefleksikan jiwa yang seringkali tantrum akibat masalah duniawi. Tapi gue tetap bersyukur telah memijakkan kaki disini, karena banyak sekali orang yang harus menyisihkan uang dan waktu bertahun-tahun untuk pergi ke Gili Trawangan dan gue dengan cuma-cuma bisa sampai ke pulau (yang katanya) sangat elok dan mengagumkan. Alhamdulillah.

Gambarannya sama seperti ketika gue berkunjung ke salah satu Kepulauan Seribu, Untung Jawa. Dijalanan yang kecil banyak sekali manusia yang berlalu-lalang. Ada yang berjalan, bersepeda dan berkuda. Bukan pohon-pohon bakau yang menghiasi jalanan, tapi pertokoan dan resorlah yang membuat pulau ini terasa tidak alami lagi. Airnya tetap jernih, pasir pantainya juga masih putih tapi... sampah berserakan dimana-mana. Mungkin 3 atau 5 tahun lagi pantai ini akan berubah. Sangat disayangkan. Namun, ada satu hal yang membuat gue ingin mengunjungi tempat ini lagi dan lagi. Apa tebak?
Karena disini mayoritas adalah turis mancanegara, mau nggak mau gue harus pake Bahasa Inggris buat nanya ataupun ngajak ngobrol orang. Yap, disini tempat yang tepat untuk latihan conversation selain di Pare. hahaha






Hanya beberapa jam gue bersinggah di Gili Trawangan, karena kita ngejar waktu buat balik ke Sumbawa malam itu juga. Tidak ada sunrise tidak ada sunset kali ini, mungkin lain waktu.

Sangat beruntung kita dapet tumpangan yang langsung ke Mataram, Allah SWT sangat mengerti keadaan kita yang sudah benar-benar capek dan lapar. Kita menumpang dimobil pick up milik perusahaan air mineral yang tidak terlalu dikenal. Mas supirnya ini baik sekali, mereka paham dengan keadaan kita yang sedang backpacker­-an alakadarnya, seperti pernah merasakan. Masnya juga berasal dari Pulau Jawa, jadi kita lebih mudah untuk akrab.

Sampai di Mataram, kita kembali kesusahan untuk mencari tumpangan. Sekalinya dapet cuma jarak beberapa ratus meter. Adzan maghrib berkumandang “nanti dijamak aja”. Tepat di depan masjid kita berdiri, adzan isya berkumandang, tapi seolah-olah kita tak mendengar. Astaghfirullah.

Mendapat tumpangan yang lagi-lagi jaraknya pendek membuat kita lebih memilih untuk berjalan. Setelah beberapa meter berjalan dan mobil yang terakhir kita tumpangi berlalu, gue baru sadar kalo HP gue nggak ada dikantong dan entah kenapa gue yakin banget kalo HP itu ketinggalan di mobil. Akbar orang yang pertamakali gue kasih tau, langsung lari sekenceng-kencengnya buat ngejar mobil itu padahal gue tau dia lagi capek-secapeknya. Yang paling ngenes adalah Si Akbar ini lari kearah yang salah, mobilnya kemana dia lari kemana. Namanya juga Akbar.

Setengah jam berlalu, 5 kali gue nelfon hp gue nggak ada jawaban. Bimbang tapi pasrah. Mengingat-ngingat apa-apa saja yang ada di HP itu. Seluruh dokumentasi perjalanan, kenangan, hilang sirna. Mencoba buat ikhlas tapi tetep mau memperjuangkan. Di penelfonan ke-6 seseorang disana mengangkat dan langsung menanyakan posisi gue dimana. Alhamdulillah wa Syukurillah, YaAllah Terimakasih banyak. Sambil menunggu bapak itu datang, gue berdiri menjauh dari temen-temen, mencoba untuk bermuhasabah diri. Peristiwa ini telah menjadi teguran buat gue dan temen-temen yang melalaikan sholat. Salah besar memang, mengatasnamakan musafir padahal masih ada waktu dan tempat untuk sholat. Faghfirlana Yaa Kariim.

Tiba di Sumbawa pukul 4 pagi. Dingin, dingin sekali. Mencoba tidur di bruga simpang Boak tapi nggak bisa. Merenung, meresapi pelajaran-pelajaran dari perjalanan ini. Gue sadari, semua ini nggak mungkin gue dapetin di kelas atau bahkan jika gue berada di kampus impian gue dulu. Terimakasih untuk-Nya, Sumbawa dan perjalanannya.

Saturday 10 March 2018

Jarak

Kita tak pernah tau kapan dan dimana kita akan bertemu dan berpisah dengan seseorang, namun itu tak lebih penting dari alasan mengapa kita bertemu dengan seseorang tersebut.
Datang dan perginya seseorang dalam hidup kita, ia akan selalu meninggalkan jejak. Dimana jejak tersebut adalah sebuah pelajaran. Tak mungkin sia-sia, tak mungkin tak ada maksud apa-apa. Ia yang datang dan bertahan hingga akhir, akan menjadi teman pengingat kebaikan. Begitu pula ia yang datang dan berlalu dengan sekejap, akan menjadi penegur atas kesalahan kita. Tak ada yang harus disesali, karena semua baik adanya.
Sama halnya ketika kita terbiasa hidup berdampingan dengan orang-orang yang kita cintai, cepat atau lambat kita akan diberi ujian. Ujian keteguhan hati bernamakan jarak. Bukan hanya menguji kesetiaan tapi juga bagaimana kita mengartikan dari sebuah jarak itu sendiri.
Coba kita lihat makna jarak dari sisi negatifnya terlebih dulu,
Adanya jarak membuat tingkat kecemasan kita meningkat. Kita akan lebih khawatir tentang kabar dan keadaan mereka pada saat ini, apakah mereka sedang berbahagia atau justru sedang jatuh dan butuh pertolongan kita? Jarak pula yang melahirkan kata rindu, sesekali kita merindu sampai sangat ingin berjumpa secepat mungkin, namun keadaan tidak memungkinkan dan ketika hal itu tidak terpenuhi, hadirlah rasa galau yang akan membuat segalanya menjadi rumit. Pada orang-orang tertentu, jarak sangatlah dibutuhkan. Tepatnya untuk menghindari dari orang-orang yang ia tidak sukai. Namun itu sama saja melarikan diri dari sebuah masalah dan pastinya akan memutuskan tali ukhuwah antar umat manusia yang mengakibatkan terbentuknya kubu-kubu yang saling tindas menindas. Jauh betul ya jarak pandang pikir gue, tapi tak apalah.

Dan berikut makna jarak dari sisi positifnya yang akan mendominasi,
Dengan jarak kita belajar arti mandiri, tidak bergantung lagi dengan orang-orang yang kita cintai. Mungkin pada awalnya akan terasa sulit tetapi kita pasti bisa karena terbiasa. Dari hal-hal kecil sekalipun, seperti cuci baju, makanan yang tersedia di meja makan, atau ke-available-an kendaraan yang dapat membawa kita ketempat manapun yang kita suka. Tapi sekali lagi, dengan keluarnya kita dari zoman nyaman itu, kita dapat bergerak; growing; keep moving forward. Bisa mendapat pengalaman baru yang dapat menginpirasi dan meng-upgrade diri kita. Pun dengan jarak, benar akan melahirkan rasa rindu. Yang mana rasa rindu itu apabila dikaitkan dengan hal positif akan menghasilkan sesuatu yang positif juga. Seperti halnya, gue, sebagai anak rantau yang ber-mil-mil jaraknya dari rumah, tentu pernah bahkan sering merasakan rindu dengan kehangatan rumah. Ya, hanya kehangatannya saja, tidak dengan hal-hal yang tidak meng-enak-annya. Jauh dari orang tua dan adik-adik memang terasa menyesakkan, tapi selalu berada di dekat merekapun terkadang menjadi suatu hal yang dihindarkan.

Gue banyak mendapati diri menjadi lebih baik ketika jauh dari orang-orang yang membuat gue selalu merasa aman dan nyaman. Gue dapat mempergunakan keoptimalan dalam berusaha memandirikan diri, gue lebih giat belajar dan memfokuskan diri dalam berkarya karena yang gue inginkan (ketika bertemu mereka) dapat membuat mereka bangga.

Begitulah makna jarak menurut cara pandang gue, kalian pilih mana, postif atau negatif?

Thursday 1 February 2018

Kenawa Island

Kenawa Island
Sesuatu yang direncanakan dengan baik sekalipun tidak mungkin terjadi apabila Tuhan tidak mengizinkannya, begitu pula suatu hal dapat terjadi dengan tak disangka-sangka apabila memang sudah kehendak-Nya”.
-Pilot Yasmine-

                Diantara hari-hari kosong yang terhimpit oleh UAS semester gasal ini gue menyempatkan diri untuk refreshing. Niat yang cuma-cuma menjadikan segalanya menjadi nyata. Ya benar, ini adalah takdir Tuhan untuk membahagiakan hati yang sedang homesick. Entah kenapa didetik-detik mau come back home gue malah galau pengen cepet-cepet sampe ke rumah, padahal biasanya gue yang anti banget kangen rumah, mau pindah dan segala tetek bengeknya. Mungkin dengan alasan my beloved Ayah masuk rumah sakit (yang cukup lama) untuk pertamakalinya. Gue kepikiran Ayah, gue rindu Ayah dan mau cepet-cepet kembali kedekapan Ayah. Ah, gue emang bener-bener anak ayah! Doain kesehatan dan kepanjangan umur Ayah, yah.  
                Jum’at sore gue dan Fina berwacana buat pergi ke Pulau Kenawa, belum tau mau ngajak siapa-siapanya. Yang pasti bukan anak nekad karena kita sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing (anggap saja seperti itu). Akhirnya gue dan Fina ngajak saudara se-mapala Gedon dan Dengdot buat jalan bareng dan diintilin Marbat pastinya. Tapi mereka berdua berhalangan, jadi yang cus gue, Fina, Marbat dan Shabrina plus Andri Si Anak Sumbawa yang tak mengenal Sumbawa.
                Jam 5 subuh di hari H gue sempet nge-chat Marbat buat mastiin jadi apa enggaknya, ngeliat Fina masih bobo cantik gue udah negthink aja kalo ini cuma wacana. Kaget beberapa menit kemudian Marbat bales dan bilang “udah jadiin aja”. Gue pun langsung bersemangat dan buru-buru bangunin Fina. Kita prepare mandi segala macem langsung cus janjian di portal asrama. Gue yang dateng paling terakhir terkejhoot disana udah ada Andri temen seper-FIKOM-an. Andri yang niatnya cuma mau balikin barang ke anak asrama tiba-tiba diajak (paksa dikit) Marbat buat ikut ke Kenawa. Awalnya dia ragu, tapi Marbat ngedesek dan akhirnya “oke aku ikut”.
                Perjalanan dimulai dari stop mobil di Batu Alang. Si Bibi dan Si Paman yang niatanya mau berhenti di Alas dengan kelapang dadaannya mengantar kita sampai ke Pelabuhan. Sungguh baik masyarakat Sumbawa tuh, aku terharu. Di perjalanan banyak hal yang belum kita tau tentang Sumbawa, apalah guna Andri si Anak Sumbawa yang tidak tau menau tentang kampung halamannya sendiri. Ditanya ini-itu “ndak sih aku tau” ANDRI AKU PADAMU.
                Sampai di Pelabuhan Kenawa kita yang tak henti-hentinya bersyukur. “PLEASE GAES KITA JADI KE KENAWA” padahal baru sampe pelabuhan. Dengan kesungguhan dan keahlian tawar-menawar kita menyewa satu kapal dengan harga 170ribu, yang semestinya 250-300ribu. Alhamdulillah. Gue sama sekali nggak percaya bakal bisa sampe di Pulau Kenawa secepat ini. Dulu, awal dateng ke Sumbawa Pulau Kenawa ini menjadi salah satu destinasi ter-WOUW yang mau dipijaki dan kayaknya semester satu kurang memungkinkan buat sampai kesana. Dan ternyata gue salah, Allah meridhoi gue untuk pergi kesana jauh lebih awal dari perkiraan gue. Alhamdulillah wa Syukurillah.
                Setelah kaki mungil gue menyentuh pasir di Pulau Kenawa ini, gue berasa bangun dari mimpi atau mungkin pindah ke fairytale lainnya. “FIN, KITA SAMPE DI KENAWA FIN!”.

Laut biru muda yang jernih
Pasir putih yang lembut
Ikan buntal yang tajam dan mengerikan
Bukit hijau yang tinggi
Langit biru yang cerah
Hamparan ilalang yang meremajakan mata
Hembusan angin yang menyejukkan hati
Itu semua adalah deskripsi Pulang Kenawa hehe

“Cuma rasa cinta gue sama laut yang nggak akan pernah hilang”










Kenawa, I’ll be back to you! <3








Wednesday 10 January 2018

Cucur Item

16.13 21/12/2017

mulai dari mata ini terbuka; aku melihat dunia yang begitu terang. 
matahari tak henti-hentinya menyinari bumi sumbawa yang sangat natural.
tetes demi tetes embun meluncur dari pucuk dedaunan, membasahi tanah sehingga menjadi harum.
kicauan burung dan udara yang sejuk membuat pikiran terbuka, inspirasi berdatangan bak jaringan internet 4G. 
mengadu pada Tuhan, memohon agar hari ini menjadi lebih menarik dari hari sebelumnya. 
membuka buku merah berisikan nasehat kehidupan, membuat diri ini lebih berhati-hati untuk menentukan arah tujuannya.
ku tutup buku.
mulai kutulis angan dan harapan.
membersihkan diri dari dosa-dosa yang telah diperbuat.
segar yang dirasa.
dengan mengenakan pakaian berwarna kedamaian, kulangkahkan kaki menuju tempat pertemuan.
pertemuan antara ku dan penentu masa depan (ilmu).
sebagian orang menyapaku ramah, 
sebagiannya lagi hanya kuberikan lekukan bibir.
tak apa tak dibalas, sekiranya aku sudah sedikit menebar kebaikan dipagi hari.
berusaha untuk tidak membuang-buang waktu,
tetap saja mahasiswa ilkom paling gabut.
ketika rasa bosan menghampiri, ingin rasanya ku menenggelamkan diri.
berusaha untuk produktif namun hanya tulisan semacam ini yang dapat kutulis.
berfaedah atau tidak yang terpenting terlihat seperti sibuk.
seperti sekarang ini,
setengah tiduran di atas ranjang dengan laptop diatasnya.
doakan saja, semoga pemuda ini dapat sukses dikemudian hari.

Peanut

Penat.

Penat.

Peanut.

Pie.

Teman yang seperti apa yang aku butuhkan? Dimana aku bisa menemukan teman yang benar-benar dapat dipercaya? Hidup ini indah karena ada teman. Teman yang selalu mewarnai hari-hariku. Namun ingin ku memiliki satu teman. Teman yang selalu mengerti keadaanku. Yang dapat menghiburku dikala sedih dan menasehatiku secara tepat ketika aku melakukan kesalahan. Andai ia datang diwaktu yang tepat seperti ini. Kuingin bercerita tentang kerasnya hidup ini. Mencoba untuk menguatkan yang lain padahal diri ini sangatlah lemah. Berusaha menghibur yang lain padahal diri ini hampa. Ia yang dihibur dan dikuatkan sama sekali tak menyadarinya. Menganggap diri ini acuh terhadapnya. Terimakasih untuk segalanya, sekarang aku sudah lelah. Jangan salahkan aku jika mulai hari ini aku tidak menghiraukanmu lagi. Silahkan kamu cari aku aku yang lainnya.


Sunday 17 December 2017

Ter-nekad part 1

Kamis, 23 November 2017


As always ngegabut dikantin setelah UTS selesai. Sambil nungguin yang lain dateng kita ngegabut mainin permainan jaman SD. It’s like tebak-tebakan nama (mantan). Ngga deng, nama-nama negara. Pas semuanya udah ngumpul (kecuali Fathan sama Ajeng yang entah perginya kemana) kita berencana buat nge-nekad, gatau kemana yang penting jalan-jalan. Sepanjang perjalanan (kaki) menuju Batu Alang gue sama Akbar main ayam-ayaman you know, ngga tau kenapa rasa gabut gue selalu menggiring gue buat jadi bocah ingusan lagi. Hari ini Akbar boleh jadi pemenang, tapi dia pernah kalah main sama gue 5 kali berturut-turut dan menurut gue itu really really hina.

Singkat cerita, sebelum sampe ke Batu Alang, ada mobil yang berhenti dan manggil kita buat masuk ke dalem. Dan ternyata itu Pak Dosen. Beliau nanya kita mau kemana, Galih menjawab kita mau ke pasar dan itu bohong. Diantarkanlah kita orang ini ke pasar. Sampe di pasar, Abay ngeluh kelaperan, dengan teramat berat hati Akbar dan Galih (as we know yang lagi puasa kamis) pun meng-iya-kan. Sesampailah kita di tukang gado-gado. Gue, Fina, Abay pesen gado-gado. Akbar sama Galih duduk manis menunggu kita makan siang. Disela-sela waktu nungguin, Akbar ngeluuuh mulu mau buka puasa. Fina dengan lantangnya memuja-muji Si Galih, wajah melasnya menggambarkan ia sedang bersabar dan (pura-pura) menguatkan diri. Nggak lama kemudian, datenglah semangkuk Es Campur ke arah kita dan ditaruhlah mangkuk tersebut di depan Si Ndusun a.k.a Galih. Ternyata dia ngumpet-ngumpet mesen es campur supaya dibilang kuat sama kita. It’s so ridiculous but smart enough. Akbar pun spontan teriak “MBAK ES CAMPURNYA SATU”. Lot Of Laugh, bruh. Akhirnya mereka berduapun buka puasa bersama di siang hari bolong.

Setelah makan, kita ngelanjutin perjalanan dengan tujuan ke Kencana Beach. Kita dapet tumpangan sampe daerah Labuhan. Mampir ke Masjid sebentar sekalian istirahat. Setelah check HP ternyata Fathan nyusul kita ke Gedung Orange. Semuanya gara-gara galih. Dia bilang kita mau nungguin Fathan disana, padahal kita udah jalan kemana tau. Fathan pun bete dan kita bingung harus apa. Fina terobsesi banget buat ngelanjutin perjalanan, padahal yang lain udah kayak mager-mager gitu.

Dilanjutin aja tuh, sampe akhirnya dapet bm-an lagi. Gue sama fina duduk di dalem, Akbar, Abay, Galih di atas panas-panasan. Pak Irfan namanya, beliau adalah orang baik yang Allah kirimkan untuk kita mencari ilmu bernamakan pengalaman. Sepanjang perjalanan ia menceritakam kisah hidupnya. Beliau adalah seorang perantau asal Banyuwangi yang sudah merantau ke Sumbawa sejak tahun 1987. Penampilannya sangat sederhana dan (mohon maaf) seperti kuli barang pada umumnya. Yap benar, ia hanyalah seorang pemuda biasa yang hanya bermodalkan sepuluh jari untuk bertahan hidup di Tana Samawa ini. Namun dengan tekad dan usaha yang kuat di tambah dengan shalat malam dan shalat dhuha, Pak Irfan dapat menikahi gadis sumbawa dan menyekolahkan ke-empat anaknya hingga kebangku kuliah. Maha Suci Allah, pertolongan-Nya selalu diberikan kepada siapa saja yang ingin meminta.

Sesampainya di tempat tujuan, tepatnya di Brang Rhee, Pak Irfan ini malah memberi kita ongkos buat balik ke UTS. Karena rezeki itu nggak boleh ditolak, diambilah uang tersebut dengan senang hati (seneng banget). Memang ya, rezeki anak sholeh/ah itu nggak kemana. Di pinggir pantai kita foto-foto dan make a video sebentar, after that kita langsung caw lagi (mundur) ke Pantai Batu Gonk. Sampe disana kita foto banyak-banyak, istirahat, menikmati hembusan angin pantai dan deburan air laut Sumbawa yang sangat menyejukkan hati. Tiba-tiba Fathan ngabarin kalo dia mau nyusul kita dan udah sampe di labuhan, kita putusin buat janjian di Pantai Jempol.

Setelah sampai disana, kita sholat ashar dan sambil nunggu Fathan, kita jajan-jajan cantik dengan menggunakan uang pemberian Pak Irfan. Ternyata Fathan datang bersama Mengas, Niko dan Abiyan. Tak lama dari situ, kita berbegas pulang karena sebentar lagi jam menunjukkan pukul 5. Kita nebeng 3 mobil pick up untuk sampai ke UTS. Lagi-lagi kita bertemu orang baik yang memberi kita ongkos buat balik, dan jumlah kali ini lebih banyak dari sebelumnya. Alhamdulillah wa syukurillah, rezeki emang nggak kemana yah hahaha


Sampai di Batu Alang pas dengan adzan maghrib, kita menyempatkan diri buat sholat berjamaah di Masjid Al-Kahfi. Selesai sholat ada aja yang bikin riweuh, anak-anak cowok ribet banget mau nangkep tokek. Ada yang bisanya cuma teriak-teriak nyuruh ini itu tapi kalo disuruh ngambil ogah, ada yang sok-sokan berani padahal takut, ada yang diem doang ngeliatin, bahkan ada yang sibuk dokumentasiin. Actually boys are more rempong than girls. Dibawalah itu tokek sampe ke asrama. Bilang mau dirawat, dibesarkan, sampe udah dikasih nama. Tapi ujung-ujungnya dilepas karena bingung mau makan bakso tokeknya taro dimana. Sungguh terlalu manusia-manusia ini. Selepas itu pulanglah kita ke kamar masing-masing, finally home sweet home~