“gue mau ke
Mantar, pokoknya gue mau ke Mantar! Semua orang udah pernah ke Mantar tinggal
gue sendiri yang belom, huh!”
Pernah
denger nggak Negeri Di Atas Awan yang ada di film "Serdadu Kumbang"? Nggak tau
kenapa gue penasaran banget buat kesana, kayak nggak percaya dan nggak bisa
bayangin waktu nonton film itu. Maklum aja gue bukan orang yang imaginatif
hahaha *padahal suka ngayal*
Setelah
beberapa hari di Sumbawa, gue lagi sibuk-sibuknya berselancar di dunia maya
buat nyari tau tentang semua destinasi yang ada di Sumbawa. Sering kali gue
mendengar kata “Mantar” tapi gue selalu nggak peduliin dan nggak tertarik buat
nyari tau. Tapi setelah ada temen yang pergi kesana dan sedikit bercerita
tentang Mantar, seketika gue keingetan film Serdadu Kumbang itu! Dengan gercepnya gue searching Mantar dan yah, I’m
Speechless.
KHAYALAN GUE UDAH DI DEPAN MATA.
4 tahun kedepan gue akan tinggal di
Sumbawa yang mana di Sumbawa inilah Puncak Mantar berpijak. Ahhh senangnyah!
After Mid-Test Semester 2, gue dan
ke-3 temen gue Fina, Manda dan Marbat berencana buat ngisi liburan bareng. Ada
yang bilang “kangen ngompreng!” gue tanpa ragu langsung meng-iya-kan pernyataan
dia dengan “Yok, kita ke Mantar!”. Sampai di hari H keberangkatan, sahabat
per-nekad-an a.k.a akbar adietya yang teramat sombong ini baru pulang
berorganisasi. Dengan mudahnya akbar menerima ajakan kita buat ngompreng
(langsung cus nggak basa-basi, nggak ganti baju dan nggak siap-siap).
Perjalanan kita lancar sampai di
Pelabuhan Poto Tano. Mobil tumpangan yang mengantar nasib untuk tidak sampai ke
Mantar. Sangat sangat sedih. Mungkin lain waktu, harapku.
Alhamdulillah, kita dapet tumpangan
sampai ke Kota Mataram (awalnya). Tapi karena kecerobohan kita (yang hampir
gapernah absen disetiap perjalanan), kita ditinggalin orang yang mau ngangkut
kita sampai tujuan. Lucu ceritanya, Marbat dan Manda yang lagi iseng-iseng buka
tas kaget ngeliat tasnya penuh sama shampoo yang tumpah. Pinternya, mereka
langsung mengaplikasikan busa-busa tersebut ke kepala mereka, Mereka keramasan
di atas kapal. Sungguh.
Pahitnya, kita ditinggalin mobil
tumpangan yang sangat menjanjikan itu! Tapi manisnya, kita dicariin tumpangan
sama Pak Polisi. Yaa walaupun nggak seberuntung mobil sebelumnya yang mau
nganterin sampe Mataram, tapi seenggaknya kita nggak perlu jalan berkilo-kilo
dari pelabuhan ke jalan raya buat nyari mobil tumpangan.
Lombok Timur namanya, panas luar
biasa dan debunya itu bisa ngerasain sensasi kayak di Jakarta. Watak
masyarakatnya pun mulai beragam. Nggak kayak di Sumbawa, hampir semua mobil
membolehkan untuk ditumpangi. Di Lombok, agak susah buat berhentiin mobil.
Entah masyarakatnya yang sudah mengenal uang (dilihat dari banyaknya pertokoan
dan banyaknya pedagang asongan) atau mungkin masyarakatnya yang menghargai
angkutan umum. I think the second
perception is more make a sense. Tapi itu semua nggak mudarin semangat kita
buat tetep ngompreng-mengompreng hehehe
Sampai sudah di Kota Mataram!
Saatnya menjadi dora, “katakan peta!
Katakan peta!” kita mulai menelurusi gang demi gang, blok demi blok, jalan demi
jalan untuk menemukan “Rumah Singgah Lombok”. Daaan terimakasih Google Maps,
kau mempersingkat perjalananku.
Rumah Sederhana penuh kehangatan.
Walaupun gue baru pertama kali dateng ke Rumah Singgah, tapi gue bisa merasakan
kehangatan disini. Ada cinta, ada keikhlasan dan ada kasih sayang. Kita berlima
disambut oleh bapak tua yang sepertinya baru pulang bekerja. Beliau langsung
mengarahkan kita ke Sang Ibu, yang mana sangat amat ramah. Tidak ada pandangan
curiga atau apapun yang membuat kita canggung. Segalanya dijamu dengan penuh
keramahan dan kehangatan.
Gue dan Fina ditempatkan dikamar yang
dipisahkan dari gangguan asap rokok dan makhluk bernamakan laki-laki. Sangat
aman. Benar-benar seperti rumah sendiri. Meski penghuninya datang dari berbagai
penjuru daerah, tapi disini kita bertatapan seperti layaknya keluarga. Menariknya,
dinding-dinding di rumah ini dipenuhi oleh bingkai foto yang mana merupakan
foto kenang-kenangan dari orang-orang yang pernah singgah di rumah ini. Sangat
banyak. Sampai-sampai bisa dijadikan sebagai spot foto yang unik. Macam di
galeri-galeri gitu.
Setelah sedikit berbincang dengan
Bapak dan Bang Gan, kita memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke daerah
Lombok Barat. Sebuah pulau cantik, yang saking cantiknya dijadikan sebagai judul
lagu oleh penyair. Gili Trawangan.
Sekitar pukul 8 pagi kita berangkat
dari Rumah Singgah Lombok, berpamitan dengan Mamak, Bapak dan adik ganteng Al-Fatih.
Mataram yang tetiba menyamakan Sumbawa derajat suhunya, membuat kaki kita ingin
cepat-cepat sampai pada tujuan. Mobil demi mobil kita tumpangi, lagu demi lagu
kita nyanyikan, senda gurau kita lakoni, setiap sudut tempat memberikan banyak
pelajaran berharga. Perjalanan ini akan menjadi cerita yang sangat menarik untuk
ku ceritakan pada kerabat-anak-dan cucuku kelak. Hehehe
Pelabuhan Bangsal namanya. Tempat kapal
berlayar dan berlabuh dari ujung barat lombok ke pulau-pulau kecil indah
bernama Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Destinasi awal yang kita pilih
adalah Gili Meno, tapi sayang kapal terakhirnya sudah berlabuh sejak satu jam
yang lalu. Sekitar 45 menit dengan biaya Rp. 17.000,00-/orang (bukan PP) untuk
sampai ke Gili Trawangan. Murahkan?
Hiruk pikuk Gili Trawangan membuatku
menajamkan mata, agak heran, pulaunya berada di Indonesia tapi mayoritas adalah
turis mancanegara. Hanya sekitar 15% orang lokal yang berada disini. Padat,
ramai, riuh, hatiku sedikit kecewa. Tak seperti pantai-pantai di Sumbawa yang
sepi, tenang, merefleksikan jiwa yang seringkali tantrum akibat masalah duniawi. Tapi gue tetap
bersyukur telah memijakkan kaki disini, karena banyak sekali orang yang harus
menyisihkan uang dan waktu bertahun-tahun untuk pergi ke Gili Trawangan dan gue dengan cuma-cuma
bisa sampai ke pulau (yang katanya) sangat elok dan mengagumkan. Alhamdulillah.
Gambarannya sama seperti ketika gue
berkunjung ke salah satu Kepulauan Seribu, Untung Jawa. Dijalanan yang kecil
banyak sekali manusia yang berlalu-lalang. Ada yang berjalan, bersepeda dan berkuda.
Bukan pohon-pohon bakau yang menghiasi jalanan, tapi pertokoan dan resorlah
yang membuat pulau ini terasa tidak alami lagi. Airnya tetap jernih, pasir pantainya
juga masih putih tapi... sampah berserakan dimana-mana. Mungkin 3 atau 5 tahun
lagi pantai ini akan berubah. Sangat disayangkan. Namun, ada satu hal yang membuat
gue ingin mengunjungi tempat ini lagi dan lagi. Apa tebak?
Karena disini mayoritas adalah turis
mancanegara, mau nggak mau gue harus pake Bahasa Inggris buat nanya ataupun
ngajak ngobrol orang. Yap, disini tempat yang tepat untuk latihan conversation selain di Pare. hahaha
Hanya beberapa jam gue bersinggah di
Gili Trawangan, karena kita ngejar waktu buat balik ke Sumbawa malam itu juga. Tidak
ada sunrise tidak ada sunset kali ini, mungkin lain waktu.
Sangat beruntung kita dapet tumpangan
yang langsung ke Mataram, Allah SWT sangat mengerti keadaan kita yang sudah
benar-benar capek dan lapar. Kita menumpang dimobil pick up milik perusahaan
air mineral yang tidak terlalu dikenal. Mas supirnya ini baik sekali, mereka
paham dengan keadaan kita yang sedang backpacker-an
alakadarnya, seperti pernah merasakan. Masnya juga berasal dari Pulau Jawa,
jadi kita lebih mudah untuk akrab.
Sampai di Mataram, kita kembali kesusahan
untuk mencari tumpangan. Sekalinya dapet cuma jarak beberapa ratus meter. Adzan
maghrib berkumandang “nanti dijamak aja”. Tepat di depan masjid kita berdiri,
adzan isya berkumandang, tapi seolah-olah kita tak mendengar. Astaghfirullah.
Mendapat tumpangan yang lagi-lagi
jaraknya pendek membuat kita lebih memilih untuk berjalan. Setelah beberapa
meter berjalan dan mobil yang terakhir kita tumpangi berlalu, gue baru sadar
kalo HP gue nggak ada dikantong dan entah kenapa gue yakin banget kalo HP itu
ketinggalan di mobil. Akbar orang yang pertamakali gue kasih tau, langsung lari
sekenceng-kencengnya buat ngejar mobil itu padahal gue tau dia lagi capek-secapeknya.
Yang paling ngenes adalah Si Akbar ini lari kearah yang salah, mobilnya kemana
dia lari kemana. Namanya juga Akbar.
Setengah jam berlalu, 5 kali gue
nelfon hp gue nggak ada jawaban. Bimbang tapi pasrah. Mengingat-ngingat apa-apa
saja yang ada di HP itu. Seluruh dokumentasi perjalanan, kenangan, hilang
sirna. Mencoba buat ikhlas tapi tetep mau memperjuangkan. Di penelfonan ke-6
seseorang disana mengangkat dan langsung menanyakan posisi gue dimana. Alhamdulillah wa Syukurillah, YaAllah
Terimakasih banyak. Sambil menunggu bapak itu datang, gue berdiri menjauh dari
temen-temen, mencoba untuk bermuhasabah diri. Peristiwa ini telah menjadi
teguran buat gue dan temen-temen yang melalaikan sholat. Salah besar memang,
mengatasnamakan musafir padahal masih ada waktu dan tempat untuk sholat.
Faghfirlana Yaa Kariim.
Tiba di Sumbawa pukul 4 pagi. Dingin,
dingin sekali. Mencoba tidur di bruga simpang Boak tapi nggak bisa. Merenung,
meresapi pelajaran-pelajaran dari perjalanan ini. Gue sadari, semua ini nggak
mungkin gue dapetin di kelas atau bahkan jika gue berada di kampus impian gue
dulu. Terimakasih untuk-Nya, Sumbawa dan perjalanannya.